Selasa, 30 April 2013

Mereka bilang...

Lagi-lagi mereka menatap ku dengan pandangan itu -yang aku bahkan tak tahu apa artinya dan mengapa mereka memandangi ku seperti itu. Kita memang tak akrab hanya saling bertegur sapa atau melempar senyum, tapi setidaknya kita tahu masing-masing. Kamu tahu siapa aku dan aku tahu siapa kamu, walau pada kenyataan kita tidak benar-benar tahu satu sama lain.

Hanya permukaannya saja, tapi itu tak membuat ku langsung menghakimi mu. Lantas mengapa kamu melakukan hal yang sebaliknya? Mengobrol pun hanya satu-dua kali, tapi kenapa seakan-akan kamu mengetahui seluk beluknya aku? Siapa kamu?

Tak pernah sekali pun kamu bertanya entah bagaimana kamu bisa mengetahuinya -baik hal yang salah maupun benar. Ah iya aku lupa, bukan kah manusia gemar bergosip. Ah maaf kesalahan ku, harusnya aku bilang "saling bertukar cerita" ya?

Kejam sekali mereka yang tidak tahu-menahu tiba-tiba seakan menjadi kawan yang sudah lama. Membuat opini publik hanya berdasarkan subjektifitas belaka. Apa kamu pernah berpikir bagaimana perasaan ku? Orang-orang yang dikoyak publik hanya karena mereka tidak seragam menjadi badut-badut layaknya kalian.

Apa kalian masih menyebut dirimu sebagai manusia? Setahu ku manusia merupakan ciptaan tuhan yang baik, karena mereka dibekali akal dan nurani.

Sudah cukup! Harus berapa banyak orang yang terluka hanya karena "mereka bilang dia blablabla"? Kesenangan mu akan itu hanya membuat mu terlihat setengah manusia setengah binatang.

Tak slamanya yang kamu dengar itu benar dan tak slamanya yang kamu lihat itu nyata.

Dalam diam (final)

Banyak orang yang diam-diam menyimpan perasaannya. Entah itu cinta, benci, marah, malu atau sakit sekalipun. Ada ribuan alasan yang tak terucap dibelakangnya -entah itu logis atau tidak, tak mengapa semua mempunyai hak yang sama, bukan?

Lantas bagaimana dengan kamu? Bukan kah ada satu dari banyak perasaan yang kau pendam? Sampai kapan kamu akan mengunci mulut mu rapat-rapat? Mengapa kamu membiarkannya jatuh kedalam palung mu yang terdalam?

Iya, aku tahu tak sepantasnya aku mengusik mu dengan pertanyaan menyelidik. Tapi dapat kah aku memberi tahu sesuatu? Hei, ini sangat rahasia kawan jangan sampai yang lain dengar.

Beberapa minggu ini aku gemar membaca buku filsafat (ya aku memang tidak begitu menyukainya bahkan menganggap itu hal yang bodoh) dan aku menemukan sebuah pemikiran yang menarik, mungkin ini dapat membantu mu -dan aku tentunya.

Ada seorang filsuf (maaf namanya begitu rumit aku bahkan tak sanggup mengingatnya dengan baik) mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang benar-benar "benar", selalu ada perubahan dari "benar" karena semuanya mengalir dan berubah. Yap! Seketika aku setuju dengannya, aku pun mempunyai gagasan "bukan kah semuanya itu relatif? Tergantung asumsi apa yang dipakai dan sudut pandang mana yang dilihat". Sama seperti alasan-alasan untuk memilih meredam segala perasaan yang kita miliki.

Bagi mu mungkin itu hal yang paling logis karena kamu menganggapnya "benar", tapi bagaimana dengan si tokoh utama yang ada dalam cerita mu? Bukan kah dia juga memiliki "kebenaran" juga untuk mengetahuinya?

Bagaimana keputusan itu diambil aku tak ingin tahu-menahu. Itu urusan mu. Entah hati dan pikiran mu berperang seperti apa, jelas bukan urusan ku. Tapi satu yang jelas menjadi urusan ku, pertama, kamu harus mendengarkan filsuf itu. Pada kenyataannya tidak ada yang memiliki kebenaran yang kekal. Kedua, aku benci kata "lebih baik dia tidak tahu". Egois! Siapa kamu memutuskan sepihak begitu? Kan belum pasti semua akan terjadi sesuai seperti yang kau ramalkan. Kamu tidak mempunyai ilmu sihir, kan?

Urusan mu, bagaimana membuatnya perasaan-perasaan itu tersampaikan. Percaya lah, membuat ganjalan di hati tidak pernah enak. Apapun itu.

Senin, 29 April 2013

Dalam diam (3)

Dalam diam aku terpacu, setiap detik terasa sangat berharga.
Dalam diam aku berubah menjadi besi, yang melesat tertarik daya magnet. Entah sejak kapan daging dan tulang mu berevolusi menjadi magnet yang sekuat ini.
Dalam diam semua partikel ku bergejolak ketika bola mata kita manatap lekat.
Dalam diam degupan ini berdetak lebih dashyat hanya dengan satu simpul senyuman.
Dalam diam jari ini berkeringat, tangan ku basah seperti orang yang menderita paru-paru basah. Entah sejak kapan.
Dalam diam bunga-bunga terus bermekaran, walau sudah ku pangkas sampai akar.
Dalam diam semuanya harus dikubur dalam-dalam.
Diam-diam perasaan itu tumbuh menjadi harap yang tak terucapkan.

Rabu, 24 April 2013

Dalam diam (2)

Dalam diam aku menapaki bekas jejak mu, berharap energi yang tertinggal dapat ku serap.
Dalam diam aku melamat seluruh gerak-gerik mu, mencari-cari keberadaan hitam mu.
Dalam diam aku menguliti mu, dengan keyakinan dapat mengendus bau mu.
Dalam diam aku, dengan bangga menyebarmu dalam butiran debu.
Sekali lagi, dalam diam tanpa kau tak pernah bisa mengetahuinya.


Dalam diam

Dalam diam aku memaki mu
Dalam diam aku membunuh mu 3 kali dengan pikiran ku.
Dalam diam aku mengutuk mu dengan ratusan sumpah serapah.
Dalam diam, aku membuat garis merah. Garis yang tidak bisa, kau maupun aku, lewati.
Dalam diam aku tidak menyukai segala hal tentang kamu, yang bahkan kau tidak akan menyadarinya.
Dalam diam hanya dalam diam.