I've lost my way
where should I go?
a small alleyway split into twelve ways
where can I go to meet you again?
if it's my destiny
if I can choose my destiny
even if I close my eyes and walk
I will choose the right path
the disappeared bright time
it's what your two eyes shone upon me,
that bright time
I'm not just waiting
I'm walking to find you
the bright time will come back to me
when the cold wind blows
I just close my eyes
I'm not sad, I dance
again and again
the dark brown haired lady has left to find her path
she's fallen in love again, she's happy again
a story that's been re-written from the beginning
they say you can go to better places
if you wear better shoes
so I won't stop until I find you
my feet keep going and going
to their own way
oh my shoes
I will set my heart properly
a little faster
my lost bright time will I find you,
after wandering through strange time?
is it still far ahead?
when I get scared
I smile for no reason
will you forget me?
I hope your time stops in mine
slow the time, stop the time
I will run a bit faster
again and again
Not everything I write is about me or even you. But if the shoe fits, feel free to wear it.
Selasa, 12 Agustus 2014
Senja
Senja adalah semacam perpisahan
yang mengesankan. Cahaya emas berkilatan pada kaca jendela gedung-gedung
bertingkat, bagai disapu kuas keindahan raksasa. Awan gemawan menyisih, seperti
digerakkan tangan-tangan dewa.
Cahaya
kuning matahari melesat-lesat. Membias pada gerak jalanan yang mendadak berubah
bagai tarian. Membias pada papan-papan reklame. Membias pada percik gerimis
dari air mancur. Membias di antara keunguan mega-mega. Maka langit bagaikan
lukisan sang waktu, bagaikan gerak sang ruang, yang segera hilang. Cahaya
kuning senja yang makin lama makin jingga menyiram jalanan, menyiran segenap
perasaan yang merasa diri celaka. Mengapa tak berhenti sejenak dari upacara
kehidupan?
Cahaya
melesat-lesat, membias, dan membelai rambut seorang wanita yang melambai
tertiup angin dan dari balik rambut itu mengertap cahaya anting-anting panjang
yang tak terlalu gemerlapan dan tak terlalu menyilaukan sehingga bisa ditatap
bagai menatap semacam keindahan yang segera hilang, seperti kebahagiaan.
Langit
senja bermain di kaca-kaca mobil dan kaca-kaca etalase toko. Lampu-lampu
jalanan menyala. Angin mengeras. Senja bermain di atas kampung-kampung. Di atas
genting-genting. Di atas daun-daun. Mengendap ke jalanan. Mengendap ke
comberan. Genangan air comberan yang tak pernah bergerak memperlihatkan langit
senja yang sedang bermain.
Ada
sisa layang-layang di langit, bertarung dalam kekelaman. Ada yang sia-sia
mencoba bercermin di kaca spion sepeda motornya. Ada musik dangdut yang
mengentak dari warung. Babu-babu menggendong bayi di balik pagar. Langit makin
jingga, makin ungu. Cahaya keemasan berubah jadi keremangan. Keremangan berubah
jadi kegelapan. Bola matahari tenggelam di cakrawala, jauh, jauh di luar kota.
Dan kota tinggal kekelaman yang riang dalam kegenitan cahaya listrik. Dan
begitulah hari—hari berlalu.
Lampu-lampu
kendaraan yang lalu-lalang membentuk untaian cahaya putih yang panjang dan
cahaya merah yang juga panjang. Wajah anak-anak penjual Koran dan majalah di
lampu merah pun menggelap. Mereka menawarkan Koran sore dan majalah ke tiap
jendela mobil yang berhenti. Bintang-bintang mengintip di langit yang bersih.
Seorang wanita, entah di mana, menyapukan lipstik ke bibirnya.
langit muram, kau pun tahu
angin menyapu musim, gerimis melintas
pada senja selintas, aku tak tahu
masihkah ketemu malamkukamu adalah mimpi itu, siapa tahu
dalam jejak senyap semalam
menatap hujan,
tiada bertanya sedu atau sedan.
Langganan:
Postingan (Atom)
Design by: StarSunflower Studio | Made with Vintage Mini Kit by: Etoile du nord