Selasa, 12 Agustus 2014

Walk In My Shoes

I've lost my way
where should I go?
a small alleyway split into twelve ways
where can I go to meet you again?

if it's my destiny
if I can choose my destiny
even if I close my eyes and walk
I will choose the right path

the disappeared bright time
it's what your two eyes shone upon me,
that bright time

I'm not just waiting
I'm walking to find you
the bright time will come back to me
when the cold wind blows
I just close my eyes

I'm not sad, I dance
again and again

the dark brown haired lady has left to find her path
she's fallen in love again, she's happy again
a story that's been re-written from the beginning

they say you can go to better places
if you wear better shoes
so I won't stop until I find you
my feet keep going and going
to their own way

oh my shoes
I will set my heart properly
a little faster

my lost bright time will I find you,
after wandering through strange time?
is it still far ahead?

when I get scared
I smile for no reason
will you forget me?
I hope your time stops in mine
slow the time, stop the time
I will run a bit faster
again and again

Senja

Senja adalah semacam perpisahan yang mengesankan. Cahaya emas berkilatan pada kaca jendela gedung-gedung bertingkat, bagai disapu kuas keindahan raksasa. Awan gemawan menyisih, seperti digerakkan tangan-tangan dewa.

Cahaya kuning matahari melesat-lesat. Membias pada gerak jalanan yang mendadak berubah bagai tarian. Membias pada papan-papan reklame. Membias pada percik gerimis dari air mancur. Membias di antara keunguan mega-mega. Maka langit bagaikan lukisan sang waktu, bagaikan gerak sang ruang, yang segera hilang. Cahaya kuning senja yang makin lama makin jingga menyiram jalanan, menyiran segenap perasaan yang merasa diri celaka. Mengapa tak berhenti sejenak dari upacara kehidupan?

Cahaya melesat-lesat, membias, dan membelai rambut seorang wanita yang melambai tertiup angin dan dari balik rambut itu mengertap cahaya anting-anting panjang yang tak terlalu gemerlapan dan tak terlalu menyilaukan sehingga bisa ditatap bagai menatap semacam keindahan yang segera hilang, seperti kebahagiaan.

Langit senja bermain di kaca-kaca mobil dan kaca-kaca etalase toko. Lampu-lampu jalanan menyala. Angin mengeras. Senja bermain di atas kampung-kampung. Di atas genting-genting. Di atas daun-daun. Mengendap ke jalanan. Mengendap ke comberan. Genangan air comberan yang tak pernah bergerak memperlihatkan langit senja yang sedang bermain.

Ada sisa layang-layang di langit, bertarung dalam kekelaman. Ada yang sia-sia mencoba bercermin di kaca spion sepeda motornya. Ada musik dangdut yang mengentak dari warung. Babu-babu menggendong bayi di balik pagar. Langit makin jingga, makin ungu. Cahaya keemasan berubah jadi keremangan. Keremangan berubah jadi kegelapan. Bola matahari tenggelam di cakrawala, jauh, jauh di luar kota. Dan kota tinggal kekelaman yang riang dalam kegenitan cahaya listrik. Dan begitulah hari—hari berlalu.

Lampu-lampu kendaraan yang lalu-lalang membentuk untaian cahaya putih yang panjang dan cahaya merah yang juga panjang. Wajah anak-anak penjual Koran dan majalah di lampu merah pun menggelap. Mereka menawarkan Koran sore dan majalah ke tiap jendela mobil yang berhenti. Bintang-bintang mengintip di langit yang bersih. Seorang wanita, entah di mana, menyapukan lipstik ke bibirnya.

langit muram, kau pun tahu
angin menyapu musim, gerimis melintas
pada senja selintas, aku tak tahu
masihkah ketemu malamku
kamu adalah mimpi itu, siapa tahu
dalam jejak senyap semalam
menatap hujan,
tiada bertanya sedu atau sedan.