Rabu, 28 Agustus 2013

And that's okay


Hello, how you doin'? Glad I crossed your path today and no, I'm nothing really special but I've got a lot to say.

Man, that smile, how it holds me and catches me off guard, and that voice, how it molds me and shapes my broken heart.

I love the way you stain your t-shirts every time you eat and nothing could replace the sight of you. Every night you sleep.

Cause you, yes you, you've got a hold on me and that's okay. Cause I wouldn't have it any other way.

Rabu, 21 Agustus 2013

Ketika #4


"sudah sudah" wanita itu dengan lembut membelai rambut anak bungsunya yang sedang menangis. "ibu berjanji esok lusa akan membelikan boneka itu, nak. Sekarang ayolah makan, tidak kah kau capai menangis tersedu-tersedu sejak tadi?" bujuknya.

Lena tak mau mendengar. Ia sudah bosan dengan janji "esok lusa" ibunya. Sudah berapa banyak esok lusa yang ibu katakan? Sudah berapa kali ia harus gigit jari melihat teman-teman sebayanya bermain boneka?

"Lena tak butuh makan. Lena butuh boneka, bu!" ia melepas pelukan ibunya kasar. Kali ini Lena ngambek lebih parah dari sebelumnya. Ia menatap ibunya kesal. "jika ibu besok tidak membawa boneka, aku akan benci ibu!"

Percakapan anak-ibu itu selesai. Tenang. Namun tak setenang aliran rasa di hati masing-masing. Lena sudah tertidur lelap seperti lupa dengan sumpah serapahnya tadi sore, tapi ibu belum dapat memasuki dunia mimpi. Pikirannya kacau. Bukan karena kata-kata anak kesayangnya, tapi karena merasa tak dapat membahagiakan anak satu-satunya yang tersisa. Kakak-kakak Lena merantau entah kemana dan tak pernah kembali.

Sang waktu terus berdetak membawa kehidupan baru. Pagi. Dimana harapan-harapan merekah bagai bunga bakung. Pagi ini ibu menyelipkan doa untuk keingan anaknya. Semoga boneka itu dapat terbeli. Halal.

Tak peduli betapa berat pekerjaan yang akan ia terima. Tak peduli dengan suhu udara ibukota yang mencekat. Ibu akan pulang nanti sore. Bersama boneka untuk Lena.

Selasa, 20 Agustus 2013

Ketika #3


"apa yang bisa saya bantu, bu?" ini sudah keempat kalinya suster menanyakan hal yang sama kepada Lena. Dengan keramah-tamahan dan kesabaran hasil pendidikan akademi perawatannya, suster ini patut diberi penghargaan.

Sedikit pun Lena tak menatap suster yang sejak tadi berbicara padanya. Padangan mata Lena kosong sekosong jiwanya.

Suster itu bangkit dari tempat duduknya meninggalkan Lena sendiri. Tak lama ia kembali dengan segelas air putih ditangannya, dengan lembut menyerahkan air hangat itu kepada Lena. "minumlah barang setitik"

"mengapa kau pikir aku membutuhkan segelas air hangat?!" bentak Lena. Ia mengangkat wajahnya. Matanya menyeledik. "aku bahkan tak memintanya!"

"eh maaf... Aku hanya menyediakannya untuk mu. Barangkali kamu haus" sekarang suster itu mulai gugup. Pertama kalinya ia mendapat perlakuan seperti ini oleh pasien.

"sok tahu!" Lena bangkit dari kursi tanam rumah sakit itu. Kali ini bentakkan Lena lebih keras dari sebelumnya, membuat orang-orang disekitar mereka menoleh. Bingung. Membuat suster itu mundur beberapa langkah. Takut.

"ketika aku meminta sesuatu baru berikan itu padaku, jika tidak jangan sok tahu! Kau bukan pesulap yang dapat membaca pikiran ku"

Ketika #2


"bukankah lebih baik begitu, Lena?" Ujar Fajar penuh kepastian. Sudah hampir sejam Fajar menceritakan segala asa yang ia doakan setiap paginya. Hari ini, 13 Januari 2004, laki-laki tua itu datang dengan cicin berlapis perak. Melamar wanita yang ia kenal selama 6 bulan terakhir ini. Fajar memang sudah gila kata orang-orang pasar. Bisa-bisanya mengejar perempuan yang 20 tahun lebih muda darinya. Saat itu Lena 21 tahun dan Fajar 41 tahun.

"bicaralah aku ingin tahu jawaban mu" lanjutnya. Lena masih diam wajahnya datar. Tak nampak apapun. Entah sedih atau bahagia. Lena membisu.

"baiklah mungkin aku terlalu terburu-buru. Maafkan aku, Lena. Aku tak memaksa mu memberikan jawaban hari ini. Mungkin esok lusa kita bertemu lagi, membicarakan masa depan yang sedang tertunda" Fajar sangat percaya diri ia takkan ditolak. Lagipula selama ini Fajar lah satu-satunya sumber aliran kehidupan Lena. Selama ini pembeli di lapaknya memang hanya Fajar seorang. Barang dagangan Lena pun sama seperti penjual yang lain: kualitas menengah kebawah dan harga yang murah.

"esok lusa?" Lena menatapnya. Mata yang sedaritadi kosong tiba-tiba jernih. "siapa yang tahu jika esok lusa gusti allah merindukan mu. Mas takkan bisa mendengar jawaban ku"

Fajar menghentikan langkahnya. Kesal. "apa kamu baru saja menyumpahi ku mati? Kalau begitu katakanlah jawaban mu sekarang"

Lena menggeleng "esok lusa mas. Esok lusa kita akan bertemu lagi membahas masa depan yang tertunda"

"hahaha kamu memang benar-benar manis, Lena. Apakah kau begitu malu-malu? Ya baiklah esok lusa kita membahas masa depan kita manis" Fajar mengelus-elus rambut Lena gemas. Ia tersenyum lebar selebar pintu masa depan yang ia angankan.

Ketika #1


"Jadi, sudah berapa banyak yang kau jual hari ini?"

"hari ini sepi"

"ku lihat hari ini pasar sangat ramai, lantas kenapa hanya daganganmu yang tak laku?"

"eh..." Lena lesu menoleh kanan-kiri. Paman ini benar. Hampir semua penjual di pasar sedang sibuk melayani riuhnya pembeli, berusaha menjaga harga yang sekiranya masih menguntungkan.

"rejeki sudah ada yang mengatur. Mungkin esok lusa ada pembeli"

"jadi hanya menunggu? Ya rejeki tak datang dengan sendirinya lho dek" Pria paruh baya itu terkekeh, gurauannya tak membuat perempuan di depannya tersenyum sama sekali. Lena tak memasukkan perkataan paman tadi ke dalam kotak sakit hatinya. Ia malah berpikir. Sedikit tersentak.

Tuhan memang sudah mengatur segala garis kehidupan umat manusia, bahkan sebelum dalam kandungan ibu. Ketika sperma berhasil membuahi ovarium. Ketika Tuhan menghembuskan ruh. Ketika itu pula segala cerita ini dimulai.

"jadi berapa harga sepatu itu" Paman itu menunjuk sepasang sepatu bayi berwarna biru cerah. "sebentar lagi cucu saya akan lahir"

Lena mengernyitkan dahi, "sepatu itu untuk bayi berusia satu tahun paman, bukankah akan kebesaran?"

"siapa yang tahu jika esok lusa gusti allah rindu pada ku? Ketika itu terjadi pastilah aku sudah pergi. Ruh tidak bisa membeli sepatu kan?" paman itu terkekeh lagi. Ia tak berbakat melawak. Lena bengong terheran-heran.