Rabu, 19 Juni 2013

Surat Terakhir

Tumpukan surat-surat itu berdebu, tak tersentuh biar setitik. Melihatnya pun mungkin kau tak mau apalagi membaca isinya. Kata-kata yang menurut mu omong kosong. Sampah!

Jadi, kamu memilih untuk diam. Mengabaikan semua surat ku, yang aku pun ragu kau dapat membacanya dengan jelas. Tangan ku bergetar terlalu kuat, tintanya tersapu air mata.

Pak pos datang membawa surat ku untuk mu, yang lagi-lagi tidak terbaca. Hanya tergeletak di kotak surat, berdesakan dengan surat-surat lainnya.

Bodohnya aku tetap mengirimi mu surat walau ku tahu hanya menjadi sampah, aku tak memperdulikan lagi wajah mu yang masam karena terganggu dengan surat-surat ku.

Hari ini aku mengirimi mu surat lagi, sebuah surat terakhir. Kamu tidak perlu khawatir aku tidak akan menyurati mu lagi.

Esok lusa pak pos akan datang. Membawa surat terakhir ku. Aku pun tidak terlalu berharap kamu mau membacanya.

Esok lusa pak pos akan datang. Membawa surat terakhir ku kepada mu. Mungkin pak pos akan menyelipkan suratnya di bawah pintu mu. Sudah tidak ada lagi ruang yang tersisa untuk surat terakhir ku di kotak surat mu.

Esok lusa pak pos akan datang. Membawa surat terakhir ku.

Secangkir Kopi (3)

Kliiing. Bunyi lonceng di depan pintu kedai berbunyi. Aku berlari ke depan kasir meninggalkan tumpukan biji kopi yang belum terpanggang rata, "maaf kami belum buka" kataku sambil menepak-nepak celemek yang kotor terkena bercak bubuk kopi.

"ah iya saya tahu" Jawabnya santai.

"eh?" sahut ku bingung mendongakkan kepala. Ah pria ini datang lagi, apa dia ingin memesan kopi hitam lagi? Pikir ku.

Pria itu melihat sekitar kedai lekat-lekat. Meraba satu per satu foto-foto lama yang digantung di dinding. Kedai ini memang berdiri sangat lama sejak tahun 1979. "kedai ini sangat tua", ia mengetuk-ngetuk dinding dan lantai kedai. Hampir 75% bagunan kedai memang terbuat dari kayu jati. Selama 34 tahun hanya mengalami satu kali renovasi. Aku pun kadang tak percaya tempat ini masih begitu kokoh.

Aku hanya berdiri di tempat kasir menatap pria itu mengitari kedai. Tak ada satu pun kata ku lontarkan untuk menghentikan ekspedisi kecilnya disini. "jadi disini tidak menjual apapun selain kopi?".

"eee maaf?" sahut ku tak beraturan, mencoba kembali sadar dari lamunan. "maaf kami belum bisa menerima pesanan. Datang lagi jam 8" kata ku sopan sambil menunjuk papan jadwal kedai yang terpasang di samping mesin kasir.

"ah iya saya tahu" jawabnya

"Lantas?" tanya ku sopan sambil tersenyum. Ini lebih menyebalkan daripada pendidikan sopan satun ketika magang dulu.

"apa kamu masih akan berdiri terus disana?" tanyanya sambil mengendus-ngendus sesuatu. "biji kopi mu terpanggang 10 derajat lebih tinggi dan 30 menit terlalu lama, jika tidak cepat diaduk akan gosong dan hancur" lanjutnya santai.

Dalam hitungan detik aku berlari ke belakang dapur, astaga memangnya siapa yang datang pagi-pagi mengganggu ku bekerja? aku menggerutu kesal. Biji kopi tidak matang merata, tapi ini sudah terlambat untuk memanggang biji kopi baru. Kurang dari satu jam kedai harus dibuka.

"apakah kau pemilik kedai ini?" katanya sambil mengitari mesin pemanggang.

"bukan saya hanya pegawai, pemilik kedai ini tinggal diluar kota". Ku putuskan untuk menggangkat biji kopi dan memindahkannya ke dalam wadah besar kedap udara. Tingkah ku seperti maling yang bingung mencari jalan keluar kampung. "haduh dimana aku meletakkan penggiling"

"tidak kah kamu tahu, proses pemanggangan sangat mempengaharui cita rasa kopi? Bagaimana bisa kamu menggangkatnya? biji-biji kopi itu belum terpanggang rata" ucapnya ketus mengambil beberapa biji kopi dari wadah. Pria itu menghirup aroma biji kopi beberapa kali, "selama proses pemanggangan biji kopi berubah bentuk secara fisik maupun kimiawi" lanjutnya.

Pria itu menyerahkan biji-biji kopi kepada ku, "bagaimana aromanya?". Aku tahu ini gosong dan tidak matang merata, sudah 3 tahun ku habiskan hidupkan bekerja disini tentu aku tahu apa yang terjadi. "gosong" jawab ku malas.

"sejak kapan aroma dapat diketahui dari indra penglihatan?"

"ngg... maksud ku biji kopi ini gosong bau terbakar... ngg sangat menyengat" jawab ku tak mau kalah.

Secangkir Kopi (2)

Hari ini kota tiba-tiba diselimuti kabut yang lumayan membuat jarak pandang kabur. Dingin menggigit kulit, saat ini pukul setengah enam, masih terlalu pagi untuk membuka kedai memang tapi hari Senin selalu banyak antrean panjang para pekerja yang walaupun terburu-buru, masih sempat menyisihkan menit mereka hanya untuk secangkir kopi hangat. Jadwal tidur ku harus digantikan dengan mengangkat berkarung-karung biji kopi dan memasukkannya kedalam mesin untuk di panggang.

Pekerjaan ini memang tidak menjanjikan banyak uang tapi aroma dari biji-biji kopi yang terpanggang dan terhampar ke seluruh ruangan merupakan bayaran lebih yang sangat ku nikmati. Indonesia memiliki banyak sekali jenis kopi dan masing-masing memiliki aroma yang khas.

Kopi Jawa atau Java coffee memiliki aroma khas rempah yang nikmat tak heran jika banyak penikmat kopi diseluruh dunia mencandu cita rasanya yang lembut. A Cup of Java adalah istilah yang dipakai orang barat untuk Indonesia ketika zaman kolonial Belanda berlangsung.

Dulu paman Han sering sekali mengirim berkarung-karung biji kopi jawa ke kedai. Paman Han merupakan salah satu penyedia biji kopi jawa terbaik. Perkebunan kopi yang terletak di Magelang ini memang sedang berkembang pesat ditengah maraknya ekspor biji-biji kopi jawa ke luar negeri.

Paman Han selalu bercerita tentang perkebunan kopi milikinya. Sesekali aku tertegun mendengar cerita laki-laki paruh baya itu. "kamu tahu bagaimana harumnya biji-biji kopi yang siap panen, Lea?" Ujarnya semangat. "rasanya seperti sedang berada di dalam mesin pemanggang" lanjutnya tertawa.

Paman pernah memberi sebuah foto perkebunan miliknya. ah menyenangkan sekali, aku bisa membayangkan betapa sejuknya udara di bawah kaki gunung yang bercampur aroma biji kopi jawa yang lembut.

Secangkir kopi (1)


Ku kira ini sudah satu jam yang lalu pria itu pergi meninggalkan kedai, tapi cangkir ini masih terasa hangat. Bahkan aroma kopi masih tersisa di udara. Aneh sekali.

Beberapa hari kemudian pria itu datang kembali, dengan pakaian yang sama, memesan kopi hitam panas. Tidak kah ini terlalu siang untuk menikmati secangkir kopi hitam? Ku pikir orang-orang meminum kopi hitam di pagi hari.

Dalam hitungan menit dia menyambar habis kopinya. Apakah dia haus? Pikir ku. Bagaimana bisa secangkir kopi hitam yang pahit diteguknya sekaligus? Lagipula bukan kah kopinya masih panas? Pria yang aneh.

Pria itu menghampiri ku, "maaf mbak, apakah ada kopi hitam yang lebih pahit dari yang sudah ku pesan sebelumnya?" katanya sambil menyodorkan cangkir kopi. Kening ku mengernyit, orang ini sakit? bahkan ampas kopi ditelan juga gumam ku dalam hati.

"maksudnya lebih pahit?" aku masih bingung dengan pesanan pria itu. Bukan kah kopi hitam itu kopi yang paling pahit? Lagipula aku tidak menambahkan sebutir gula pun di cangkirnya tadi.

"lebih banyak bubuk kopi" sahutnya datar meletakkan cangkir itu dan kembali ke mejanya. Kini aku tambah dibuat bingung, sudah 3 tahun bekerja di kedai ini dan pertama kalinya mendapat pesanan aneh dari orang yang aneh pula. "ah sudahlah kita turuti saja kemauan tuan itu" gumam ku seraya membubuhkan satu dua sendok teh kopi ke dalam cangkir. Tak lama aku diam, berapa banyak bubuk kopi yang ditambahkan? Alih-alih sesuaikan keinginannya malah nanti ia tersedak karena terlalu pahit, bisa-bisa aku yang kena getah.

"harus kah selama itu untuk membuat secangkir kopi?" suara ketus pria itu membuyarkan lamunan ku. "baik lah tuan semoga kau tersedak!" ucap ku dalam hati kesal.

aku mengantarkan pesanannya sambil sesekali melihat ke dalam cangkir. Dalam pikiran ku ini lumpur bukan kopi tapi peduli setan, pelanggan adalah raja.

Selasa, 18 Juni 2013

The Story of Us


I used to think one day we'd tell the story of us, how we met and the sparks flew instantly. People would say they're the lucky ones. I used to know my place was a spot was next to you, now I'm searching the room for an empty seat 'Cause lately I don't even know what page you're on.


Oh, a simple complication, miscommunications lead to fallout. So many things that I wish you knew. So many walls up, I can't break through. Now I'm standing alone in a crowded room and we're not speaking and I'm dying to know, is it killing you like it's killing me? I don't know what to say since a twist of fate when it all broke down and the story of us looks a lot like a tragedy now

Next chapter

How'd we end up this way? See me nervously pulling at my clothes and trying to look busy, and you're doing your best to avoid me. How I was losing my mind when I saw you here but you held your pride like you should have held me.

I'm scared to see the ending, why are we pretending this is nothing? I'd tell you I miss you, but I don't know how. I've never heard silence quite this loud.

This is looking like a contest of who can act like they care less but I liked it better when you were on my side. The battle's in your hands now but I would lay my armor down, If you'd say you'd rather love then fight.

So many things that you wish I knew but the story of us might be ending soon.

The end

Jumat, 07 Juni 2013

Dialog (final)

Seringkali, rindu tersembunyi dalam "apa kabar". Seringkali, kasih sayang tersembunyi dalam "jangan lupa makan ya" - Fiersa Besari

Setiap kata yang terucap adalah hasil dari hati dan pikiran. Hati melontarkan rasa dan pikiran yang menyaringnya; bagaimana rasa itu disampaikan dengan kata-kata. Ada yang memilih meluapkan segalanya tanpa peduli apa yang diucapkan, ada juga yang memilih menyaringnya dengan hati-hati. Tak apa, dua-duanya boleh benar boleh salah.

Ada yang bilang ingin menjaga perasaan orang yang mendengar perkataanya. Ada juga yang bilang tidak tahu harus berkata apa. Tak sedikit juga ada yang bilang buat apa ditahan-tahan. Tak apa, semuanya boleh benar boleh salah.

"Komunikasikan biar kita paham. Jangan ngode jangan berharap kita peka. Kita bukan pesulap yang bisa baca pikiran kalian" - Kris

Untuk orang yang memilih untuk menjaga perasaan orang lain, mungkin ia akan mengatakan dengan cara yang berbeda tapi dengan diksi yang sama. Walau tak semua ia lontar. Ada beberapa bagian yang ia sisakan diujung hatinya. Menyimpannya terus. Berhari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Tak apa, ia pun berhak melakukannya.

Untuk orang yang tak tahu harus berkata apa, mungkin ia terlalu takut untuk menerima hasil dari ucapannya. Atau merasa bahwa diam merupakan jalan tengah yang terbaik. Diam belum tentu tak peduli, bukan? Tak apa, ia pun berhak melakukannya.

Untuk orang yang memilih meluapkan segalanya, mungkin ia tidak ingin menyimpan sisa-sisa kebencian, kejelekan atau amarah. Lebih baik terus terang, daripada terjangkit penyakit hati. Mungkin setelah itu perasaannya jadi lega dan kembali normal seperti biasa. Tak apa, ia pun berhak melakukannya.

Jelas jika situasi, kondisi dan lawan bicara menjadi salah satu faktor akan memilih yang mana (sifat lahiriah bisa juga menentukan). Sesungguhnya kata-kata dapat dimainkan namun sikap dan tatapan mata tidak bisa kau apa-apa kan. Dalam setiap kata memiliki makna, dalam setiap kalimat memiliki cerita.

Apapun yang kamu pilih, pilih lah dengan kepala dingin dan hati yang bijak. Kata-kata tak bisa ditarik kembali. Perasaan tidak bisa di-undo.

Rabu, 05 Juni 2013

Dialog (4)

"Kamu baik-baik saja?"
"Iya, tidak apa-apa"

Dia pun pergi setelah memastikan semua baik-baik saja, walau seseorang yang ditinggalkannya masih tersedu-sedu dalam diam.

***

"Kamu baik-baik saja?"
"Iya, tidak apa-apa"

Tidak, aku tidak baik-baik saja. Aku bingung, gelisah, aku... butuh seseorang. Tapi sayangnya aku terlalu takut untuk memulai cerita bahkan kehilangan kata-kata untuk menceritakannya. Beritahu aku, apa yang harus ku lakukan?

***


"Kamu baik-baik saja?"
"Iya, tidak apa-apa"

Apa dia benar-benar baik-baik saja? Wajah mu muram, tapi... ya kamu sudah bilang tak apa-apa. Mungkin hanya waktu sejenak untuk sendirian