Selasa, 21 Mei 2013

Dialog (3)

"Hei itu salah! Bukan kah seharusnya begini?"
"Oh ya? Ya sudah"

Dan perdebatan itu berakhir. Dia pun memutuskan untuk pergi. Melempar senyum, berpamitan kemudian bergegas pergi.

***

"Hei itu salah! Bukan kah seharusnya begini?"
"Oh ya? Ya sudah"

Hei, kamu pikir kamu siapa? Merasa yang paling benar saja! Ah sudah lah, daripada semakin berlarut-larut lebih baik mengalah. Tidak akan ada habisnya.

***

"Hei itu salah! Bukan kah seharusnya begini?"
"Oh ya? Ya sudah"

Nah, benar kan apa yang aku bilang. Seharusnya kamu mendengarkan ku sejak awal.

***

"Hei itu salah! Bukan kah seharusnya begini?"
"Oh ya? Ya sudah"

Dialog (2)

"Oh maafkan aku, sungguh. Aku benar-benar menyesal"
"Iya, tidak apa-apa. Lain kali lebih hati-hati ya"

Dan dia pun tersenyum lega, rasa takutnya hilang sudah. Selama beberapa menit kedepan dia pun akan bersikap manis sebagai bentuk penyesalan, walau seseorang disebelahnya masih tersenyum kecut.

***

 "Oh maafkan aku, sungguh. Aku benar-benar menyesal"
"Iya, tidak apa-apa. Lain kali lebih hati-hati ya"

Maaf katamu?! Kamu pikir kata maaf mu cukup. Ah! Mau minta ganti rugi pun sungkan, teman sendiri, tapi? argh!

***

"Oh maafkan aku, sungguh. Aku benar-benar menyesal"
"Iya, tidak apa-apa. Lain kali lebih hati-hati ya"

Syukurlah kamu tidak marah. Aku pikir kau akan mengumpat dengan sejuta kata tercela.

***

"Oh maafkan aku, sungguh. Aku benar-benar menyesal"
"Iya, tidak apa-apa. Lain kali lebih hati-hati ya"

Dialog

"Hai, apa kabar?"
"Baik"

Dan percakapan singkat 60 detik itu berakhir. Tanpa menyisakan hal apapun untuk dikenang kelak. Jadi, kamu maupun aku hanya diam dan berlalu.

***

"Hai, apa kabar?"
"Baik"

Kau tahu bagaimana kelunya lidah ku? Ah seandainya aku bukan orang yang mudah kikuk. Kau tahu betapa aku menginginkan sebuah percakapan panjang, yang siapa tahu akan berlanjut ke percakapan panjang lainnya.

***

"Hai, apa kabar?"
"Baik"

Hanya itu? Tidak ada lagi? Ya sudah lah, setidaknya aku sudah menyapanya. Mungkin dia tidak begitu menyukai ku.

***
"Hai, apa kabar?"
"Baik"

Celoteh BBM

Riuh yel-yel mahasiswa menggelora, kebulan asap hitam menggelegar. Bersatu dalam satu misi yang sama, membuat pagar betis pertahanan. Solidaritas katanya. Pecahan kaca, kemacetan, fasilitas publik merupakan saksi bisu aksi yang katanya untuk rakyat.

Bahan Bakar Minyak atau yang kerap kita sebut BBM merupakan salah satu hal sensitif ditelinga masyarakat banyak selain masalah pangan. Memang bukan permasalah baru tapi juga berarti isu BBM tak habis untuk diperbincangkan. Di era serba modern ini, semua menggunakan BBM. Mulai dari listrik untuk memenuhi kebutuhan gadget-gadget mahal mu, proses produksi barang dan jasa yang kamu nikmati sampai makanan-makanan lezat yang tersaji di meja makan mu.

Hemat energi katanya, tapi ke warung depan gang saja pakai motor. Capek, panas, malas jalan kaki katanya. Hemat energi katanya, tapi barang-barang elektronik di rumah menyala 24 jam. Yang penting bayar listrik katanya. Tapi kalau PLN mau menaikan harga listrik, langsung naik darah.

Subsidi BBM tidak kena sasaran katanya, tapi kok kamu masih pakai premium bersubsidi? Subsidi BBM 60% dinikmati kaum mampu katanya, ayo coba dicek tangki kendaraannya, gitu bilang membela rakyat kecil. Subsidi BBM memakan banyak anggaran katanya, pantas Indonesia jalan ditepat. Subsidi BBM dikurangi agar dananya dapat dialihkan untuk pembangunan infrastruktur katanya, alhamdulillah.

Pom-pom bensin akan menetapkan harga ganda, Rp6500-7000 untuk kalangan berada dan Rp4500 untuk kalangan tak mampu. Kalau gitu ayo ramai-ramai pakai mobil dan motor butut biar bisa dapat harga murah, pulang ke rumah tinggal dipindahkan saja. Beres.

Berada harga premiun di Jawa? 4500 rupiah. Bagaimana dengan Papua? 10.000 rupiah, wah! Eh, tunggu dulu. Saya kok tidak pernah ya mendengar masyarakat di Papua ricuh, merusak sana-sini, yang saya tahu disana saling tembak karena pertambangan dan wilayah.

Kalimantan saja yang mendapati gelar 'Raja Minyak' tidak pusing dengan harga premium yang lebih mahal. Kenapa orang-orang di Jawa huru-hara sekali?

Ah! Ah! Siapa itu yang beraksi membela rakyat (katanya)? hmm kamu tahu kenapa ada imbuhan "maha" dalam gelar tak tertulis mu itu? Coba diingat-ingat lagi.

Ya semoga dengan bergantinya Presiden, kebijkan tidak tiba-tiba diganti juga. Huft! Yang tua yang bergalau. Semoga cepat sembuh negeri ku. aamiin.

Memaafkan, Melupakan atau Menerima?


Sering sekali bukan hati kita tersakiti? Oleh siapa saja dengan cara yang beragam. Bahkan orang yang tidak kita kenal sekali pun dapat menyakiti kita, entah seseorang di kendaraan umum bahkan di trotoar jalan sekali pun. Pastinya rasa jengkel, marah, ingin memukul langsung itu ada bahkan dirundung kekecewaan atau kesedihan juga ada.

Lebih-lebih kalau orang terdekat kita yang melakukannya, sakitnya pasti berlipat-lipat! Lantas apa yang kamu lakukan? Memaafkan? Coba tanya hati mu lagi, yakin sudah siap untuk memaafkan?

Memang ada banyak cara untuk memaafkan, dan kadarnya pun berbeda-beda. Bisa dilihat dari seberapa lapang orang itu bisa memaafkan dan seberapa besar rasa sakit yang harus ia terima. Diajaran agama mana pun mengajarkan untuk ikhlas memaafkan, bukan? Lalu ikhlas yang seperti apa?

Bagaimana jika sudah memaafkan tapi masih ada bola api yang berputar di perutmu? Aduhai masalah hati memang selalu rumit.

Coba diingat-ingat lagi bagaian mana yang terlewat. Ditelusuri lagi, ikuti potongan demi potongannya. Mungkin "ikhlas" mu masih terjebak dalam labirin perasaan mu, atau memang kau sengaja mengurungnya?

Buat apa hanya meredam gemuruh, kalau kamu tahu ia tak akan pernah berhenti. Tidak sepadan dengan penyakit hati yang kamu derita. Setahu urusan maaf-memaafkan tidaklah sesulit mengerjakan soal ekonometrika.

"hey, kamu tahu apa ha?" mungkin itu yang akan kamu ucapkan, iya tak mengapa silahkan kamu bebas berpendapat. Jadi, coba dipikirkan lagi apakah benar memaafkan itu sulit? Atau bagian melupakannya yang sulit? Melupakan kejadian yang membuat darah mu naik ke ubun-ubun, melupakan sang tokoh utama dalam cerita mu, ya melupakan.

Atau jangan-jangan tidak keduanya? Lantas apa yang membuat hal ini rumit? Ah.... mungkinkah bagian menerimanya? Menerima hati mu disakiti oleh orang-orang dalam hidup mu, menerima kekecewaan atas perlakuan tidak mengenakan terhadapmu, ya menerima.

Lalu, kira-kira kamu sedang di bagian mana?

Rabu, 15 Mei 2013

diam bukan berarti tak peduli. diam juga bisa diartikan tidak ingin memperburuk suasana. kata-kata ini akan terkubur untuk sementara waktu. jika memang sudah waktunya, aku pasti akan bicara juga.

Rabu, 08 Mei 2013

Selalu ada bekas luka yang tertinggal. Selalu ada sisa jejak-jejak air mata di pipi walau sudah beribu kali kau basuh dengan air. Selalu ada rasa yang singgah. Selalu ada, dan kau tak pernah memperdulikannya, Ayah.