Jumat, 12 April 2013

Sebuah cerita dari Senja


Lewat tengah malam dan masih tetap segar. Kantuk belum juga merajut walau tubuh sedang dalam kondisi yang kurang fit. Entah ini untuk keberapa kalinya saya masih terjaga. Malam sudah menjadi sahabat dan pagi terasa seperti waktu yang paling menyebalkan.

Kali ini saya ingin bercerita tentang sesuatu yang bisa disebut dengan sebuah ketulusan. Tenang saya tidak akan menceritakan cerita cinta cengeng kepada anda, ini hanya kisah yang terus menggantung dalam langit-langit pikiran saya.

Sebut saja senja, wanita berumur 19 tahun yang masih berkutat dengan seluruh jiwanya. Dia mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi selama ini. Terus-menerus Senja membuat hipotesa, melakukan penyangkalan atas segala hal yang telah terjadi diluar kendalinya. Entah sejak kapan batinnya berkecambuk, yang jelas dia tersayat.

Bagaimana bisa dia memenangkan peperangan melawan hatinya jika logikanya selalu menentang perdamaian?

"Kenapa kamu selalu seperti ini? Bahkan untuk mengurusi dirimu sendiri kamu tidak sanggup." Ujar Kejora, siap mengadili.

"Percuma walau seribu kali aku bilang. Bukan kah kamu tidak akan mengerti? Sampai kapan pun kamu tidak akan pernah mengerti karena kamu tidak merasakannya langsung, kejora" Jawab Senja menahan amarah, "Lantas aku harus bagaimana lagi? Meninggalkannya? Ah gila, Tidak akan mungkin!" Sambungnya kesal

"Kenapa Senja? Kenapa?! Tak bisa kah kau melihat? Segala hal telah kau lepas hanya untuknya. Bodoh sekali! Lalu apa yang kau dapatkan darinya?"

Senja diam. Menutup mata, membuka lembar demi lembar kenangan. Mencari-cari jawaban atas segala pertanyaan kejora. Semakin dalam dia berpikir semakin tak ada jawaban. Semuanya abu-abu. Matanya mulai berair, tubuhnya bergetar. Dia hanya bisa menangis dalam bisu.

"Sampai kapan senja? Kau sudah dewasa bukan? Pilih lah dengan bijak. Jangan menjadi lilin yang membakar dirinya sendiri hanya untuk menerangi orang lain"

"Kau tidak akan pernah mengerti" tangisnya pun pecah.

"Ya memang aku tak akan mengerti atas segala pemikiran bodoh mu"

***

Sendiri lah dia merenungkan amarah Kejora. Logikanya berkata, "kejora benar seharusnya aku tidak berlebihan", tapi disatu sisi hatinya menolak secara keras "Mengapa harus memikirkan Kejora? Toh kamu kan yang menjalani semuanya, bukan kah semuanya baik-baik saja"

Satu persatu Senja memulai untuk mengkalkulasikan segala aspek. Dia mencoba membuang hati dan logikanya jauh-jauh. Berisik sekali harus mendengar pertikaian mereka berdua.

Setelah sekian lama akhirnya segala pertanyaan itu menemukan jawabannya jua. Kembali lah sang hati dan logika itu dipertemukan. Menjadi mediator untuk mereka sangat lah sulit. Kalah menyulitkan daripada menjadi mediator persoalan Dewi Persik dan Julia Perez beberapa waktu lalu.

"Aku tahu kenapa kalian tak pernah bersatu" Ujarnya pada hati dan logika. "Kalian tak pernah saling memahami bukan?"

"Bukan kah segala yang ada di dunia ini relatif? Tergantung dari sisi mana kita melihat dan asumsi apa yang kita pakai" Senja memantapkan dirinya.

"Kalian berdua benar kok enggak ada yang benar-benar salah. Hanya saja asumsi dan sudut pandang kalian lah yang berbeda. Tapi itu bukan hal yang harus dijadikan perdebatan bukan?"

"Memang secara logika seharusnya aku tidak 'segitunya' dengannya. Tapi disatu sisi aku tahu dia lebih membutuhkan ku dibandingkan mereka"

"Tempat itu selalu memberi ku teduh walau dikala hujan sekali pun. Kita sama-sama merasakan itu kan?"

Senja terdiam. Ada genangan air di pelupuk matanya. Nafasnya cepat. Tubuhnya bergetar tak beraturan.

"Mengapa aku harus meminta imbalan jika aku tak benar-benar bisa memberikan sesuatu? Dia, disana mengajarkan ku sejuta ajaranan yang bahkan entah darimana lagi aku bisa mendapat itu selain disana. Kamu merasakan itu juga kan?"

"Persetan dengan orang-orang itu! Mereka tidak mengerti apapun. Ya benar adanya kalau orang yang sedikit tahu justru akan lebih berbahaya daripada orang yang tidak tahu sama sekali. Mereka lantas akan sok tahu. Berkoar-koar seperti filsuf yang mempertanyakan eksistensi Tuhan"

"Aku hanya menyayangi tempat itu, apakah salah? Bukan kah itu kebebasan segala umat?"

Senja diam. Berusaha mengatur luapan emosinya, mendinginkan setiap pori-pori yang beruap.

"Ia sudah memberi ku begitu banyak. Apa salah jika aku ingin membalas segala jasanya? Apa harus ku hitung segala pengorbanan dan waktu ku yang habis olehnya? Bahkan Ibu dan Bapak tidak pernah menghitung berapa peluh keringat yang sudah mereka keluarkan untuk membesarkan ku"

"Sejak aku menginjakkan kaki ku disana, aku tahu suatu hari nanti aku terikat. Kalau pun aku tak ingin sudah sejak lama bukan aku bisa menarik kaki ku kembali? Aku menerima segala resikonya"

Kini Senja terjatuh, memeluk kakinya merapatkan jari jemari kuat.

"Aku tidak akan berani meminta apapun, karena dia sudah memberiku lebih dari cukup lebih dari yang ku bayangkan. Aku akan terus berada disana, merawatnya, menghidupkannya"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar